Minggu, 23 Maret 2008

Global Warming

Sebetulnya yang dikenal sebagai ‘gas rumah kaca’, adalah suatu efek, dimana molekul-molekul yang ada di atmosfer kita bersifat seperti memberi efek rumah kaca. Efek rumah kaca sendiri, seharusnya merupakan efek yang alamiah untuk menjaga temperatur permukaaan Bumi berada pada temperatur normal, sekitar 30°C, atau kalau tidak, maka tentu saja tidak akan ada kehidupan di muka Bumi ini.
Permukaan bumi dilapisi dengan Gas Rumah Kaca (GRK). Ketika masuk atmosfer Bumi, panas matahari harus melewati panel ini. Kemudian diserap oleh tanah, air, dan ekosistem lain. Maka, Bumi terasa hangat. Kalau tidak ada GRK, Bumi akan dingin dan beku. Proses ini disebut Efek Rumah Kaca. Secara alami GRK penting. TAPI, GRK di atmosfer bertambah kian hari kian cepat. Bahkan terlalu cepat. Sehingga, Bumi makin panas!
Laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) tahun 2007, menunjukkan bahwa secara rata-rata global aktivitas manusia semenjak 1750 menyebabkan adanya pemanasan. Perubahan kelimpahan gas rumah kaca dan aerosol akibat radiasi Matahari dan keseluruhan permukaan Bumi mempengaruhi keseimbangan energi sistem iklim. Dalam besaran yang dinyatakan sebagai Radiative Forcing sebagai alat ukur apakah iklim global menjadi panas atau dingin (warna merah menyatakan nilai positif atau menyebabkan menjadi lebih hangat, dan biru kebalikannya), maka ditemukan bahwa akibat kegiatan manusia-lah (antropogenik) yang menjadi pendorong utama terjadinya pemanasan global
Sumber terutama peningkatan konsentrasi karbon-dioksida adalah penggunaan bahan bakar fosil, ditambah pengaruh perubahan permukaan tanah (pembukaan lahan, penebangan hutan, pembakaran hutan, mencairnya es

Bila kita penghuni bumi tidak bersama-sama meminimalisir bahkan tidak peduli dengan pemanasan global, beberapa akibat yang akan dirasakan seperti: Permukaan air laut naik 9 - 96 cm, garis pantai bergeser dan penduduk pesisir pantai terancam mengungsi, termasuk Indonesia; 80% spesies tanaman dan binatang akan punah dalam satu abad mendatang; beberapa jenis nyamuk pembawa penyakit, seperti demam berdarah dan malaria, menyebar keluar dari daerah tropis; musim kemarau panjang dan musim hujan yang singkat ' gagal panen, krisis pangan Intensitas hujan yang hebat hingga terjadi badai besar, hujan keras, dan banjir.

Sabtu, 15 Maret 2008

Tips-tips mengemudi di jalan yang basah

1. Periksa ban Anda secara rutin.

Selalu periksa ban sebelum jalan. Lakukanlah langkah-langkah perawatan rutin berikut ini: Jaga tekanan udara dalam ban sesuai anjuran. Periksalah tekanan udara ban Anda sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan. Cek kedalaman alur.
2. Kurangi kecepatan.

Pada saat hujan, air bercampur dengan oli di atas permukaan jalan dan membuat permukaan jalan menjadi licin dan ban mudah slip. Cara terbaik untuk menghindari slip adalah mengurangi kecepatan.

3. Belajar bagaimana mengatasi slip.

Slip bisa terjadi bahkan pada pengemudi yang paling hati-hati sekalipun. Jika mobil Anda mulai tergelincir, jangan sekali-kali menginjak habis rem Anda. Jangan pompa rem bila mobil Anda di lengkapi anti-lock braking system (ABS). Sebaliknya, tekan dengan pasti dan arahkan kemudi sesuai arah slip mobil.

4. Jaga jarak dengan mobil di depan.

Di jalan yang basah dibutuhkan jarak pengereman tiga kali lebih panjang daripada di jalan yang kering. Karena dibutuhkan jarak yang lebih besar, Anda tidak menempel ke mobil di depan (tailgate). Sekurang-kurangnya pertahankan jarak dua kali panjang mobil di antara Anda dan mobil di depan.

5. Ikuti arah mobil di depan Anda.

Hindari menggunakan rem. Bila masih memungkinkan, kurangi kecepatan dengan melepas pedal gas. Hidupkan lampu depan. Lampu ini tidak saja membantu Anda melihat jalan tetapi juga membantu pengemudi lain melihat Anda.

6. Persiapkan perjalanan Anda dengan baik.

Mengemudi dalam cuaca basah mengharuskan cara yang halus dalam menggunakan kontrol-kontrol utama—kemudi dan pedal-pedal kopling, rem dan gas—serta kesiapan yang lebih besar dalam mengantisipasi kesalahan orang lain ataupun kondisi darurat. Setiap pengemudi harus selalu memeriksa apakah lampu depan, lampu belakang, lampu rem dan lampu tanda berbelok semua berfungsi dengan baik.

7. Belajar menghindari dan mengatasi mobil yang melayang di atas air (aquaplaning).

Aquaplaning terjadi bila air di depan ban mobil berkumpul lebih cepat daripada yang dapat didorong oleh berat mobil Anda. Tekanan dari air mengangkat mobil Anda sehingga melayang di atas air yang ada di antara ban dan permukaan jalan. Pada saat itu, mobil Anda akan kehilangan kontak dengan permukaan jalan, dan Anda dapat slip atau keluar dari lajur Anda bahkan keluar dari jalan. Untuk menghindari situasi ini, tekanan ban harus selalu diperiksa. Alur ban juga harus cukup dalam. Jika perlu, ban harus diganti. Kurangi kecepatan bila jalan basah, dan hindari genangan air. Usahakan mengikuti jejak yang ditinggalkan ban-ban mobil di depan Anda. Kalau Anda merasakan mobil melayang di atas air, jangan menginjak rem atau memutar kemudi secara medadak. Lepaskan injakan pada pedal gas sampai kecepatan mobil berkurang dan Anda kembali merasakan cengkeraman ban pada permukaan jalan.

8. Kalau hujan lebat, berhenti saja!

Bila pandangan ke depan sangat terbatas sehingga Anda tidak bisa melihat batas-batas jalan ataupun kendaraan-kendaraan yang lain, itu tandanya Anda harus meminggir dan berhenti sampai hujan reda. Hidupkan lampu depan dan lampu hazard untuk membuat pengemudi-pengemudi lainwaspada.

9. Hujan awal membuat jalan sangat licin.

Bila hujan baru saja turun, biasanya jalan menjadi sangat sulit dikuasai karena lumpur dan minyak di jalan yang kering kini bercampur dengan air dan membentuk lapisan yang sangat licin.

10. Keringkan rem Anda setelah melewati genangan air.

Setelah melalui genangan air yang dalam dan rem Anda mungkin basah, tekanlah pedal rem sedikit untuk mengeringkannya.
11. Berhenti mengemudi bila merasa sangat lelah.

Berhentilah sekurang-kurangnhya setiap beberapa jam sekali atau setelah beberapa ratus kilometer untuk berisirahat.

Minggu, 09 Maret 2008

BERBAGAI BENTUK KRITIK-DIRI

Pentingkah kita mendengarkan kritik-diri itu? Jawabnya bisa penting dan bisa tidak. Kenapa? Karena ini terkait dengan pilihan (free choice) dan terkait dengan soal level kesadaran (awareness). Kita diberi kebebasan memilih untuk mendengarkan dan untuk tidak mendengarkan. Kita bebas memilih untuk sekedar mendengarkan lalu melupakan atau mendengarkan lalu menjawabnya dengan tindakan (action).

Di sejumlah literatur psikologi atau manajemen SDM, kritik-diri ini mayoritasnya terkait dengan kondisi kejiwaan yang sedang negatif (self-criticism). Ini misalnya dikaitkan dengan soal stress atau depresi. Gejala stress tingkat tinggi atau depresi adalah munculnya self-criticism, pessimism, atau self-esteem yang rendah. Mereka melontarkan berbagai kritik terhadap dirinya. Kemungkinan besar kritik itu tidak terucapkan secara verbal. Kritik itu umumnya hanya ada di dalam pemahaman batin.

Kalau di dalam istilah pengembangan SDM industri, self-criticism ini sering dikaitkan juga dengan munculnya burn-out, sebuah kondisi di mana seseorang kehilangan sumber gairah untuk maju atau berprestasi. Salah satu tandanya adalah self-criticism ini. Kita mengeluarkan kritik terhadap diri sendiri. Sering dikaitkan pula dengan persoalan career depression. Orang yang mengalami depresi dalam karirnya itu antara lain ciri-cirinya adalah: have higher than average levels of self-criticism, tidak bahagia dengan profesi / pekerjaannya, tidak memiliki tujuan yang jelas.

Terlepas itu negatif atau positif, yang menjadi persoalan inti sebenarnya bukan itu. Lalu apanya? Kritik yang muncul dari dalam batin kita, tentang diri kita, pada saat kita sendirian atau pada saat berbicara dengan diri sendiri, itu semua seringkali tidak bisa dihindari. Karena itu, yang terpenting bukan mempersoalkan self-criticism-nya, melainkan akan kita gunakan untuk "apanya". Ini yang terpenting.

Artinya, kalau berbicara praktek hidup, self-criticim ini muncul dalam berbagai versi dan bentuk serta dialami oleh siapa saja. Alasannya, mungkin karena ada fakta-fakta konkrit yang mendukungnya (factual) atau hanya soal persepsi atau interprestasi yang diciptakannya (perceptual). Terlepas itu karena alasan perceptual atau factual, self-criticism ini akan mempengaruhi keputusan, tindakan, atau kebiasaan seseorang.

Soal pengaruh ini sudah banyak dijelaskan oleh berbagai teori motivasi, teori peluang, teori kreativitas, dan lain-lain. Orang menjadi termotivasi itu bisa karena memang ada stimulan yang mendorongnya atau bisa karena interprestasi dia yang memotivasi dirinya. Begitu juga orang menjadi kreatif. Ada yang karena "dipaksa" keadaan, tetapi ada yang karena persepsi dan interpretasinya.
sumber : www.e-psikologi.com

Minggu, 02 Maret 2008

Rutinitas atau Ketekunan??

Rutinitas identik dengan kebosanan, kemandekan, anti kreativitas, dan lain-lain. Padahal, kalau dilihat secara fisiknya, tidak ada perbedaan antara orang yang menjalani rutinitas dan orang yang menekuni sesuatu.

Rutinitas adalah, kita melakukan sesuatu yang sama dengan cara yang sama dan terus berulang di waktu yang sama. Menekuni itu artinya kita melakukan sesuatu berkali-kali dan dalam periode yang lama. Karena itu, secara lahirnya, ada orang yang pergi ke tempat kerja hanya sekedar untuk menjalani rutunitas, tetapi ada juga yang mungkin untuk menekuni keahlian tertentu.

Letak perbedaannya ada pada dinamika batin seseorang. Dinamika batin seperti apa yang membedakan? Dinamika batin yang kerapkali menjadi pembeda itu antara lain:

Pertama, kesadaran dari dalam.
Orang yang menekuni sesuatu didorong oleh kesadaran yang bersumber dari dalam dirinya (intrinsic initiative and motive). Mereka menyadari bahwa itu adalah sesuatu yang harus dilakukan, bahwa apa yang sedang dilakukannya adalah penting bagi dirinya. Sedangkan orang yang sedang menjalani rutinitas itu umumnya didorong oleh "kesadaran dari luar" atau inisiatif dari faktor eksternal. Bentuk faktor eksternal itu banyak, misalnya saja: paksaan orang, tuntutan keadaan / pekerjaan, kewajiban organisasi, dan lain-lain.
Secara perasaan, sesuatu yang kita lakukan atas dasar kesadaran dari dalam itu akan membuat batin kita menjadi "flow" atau mengalir, berjalan sesuai proses. Sedangkan sesuatu yang kita lakukan atas dasar paksaan dari luar itu biasanya menyebabkan batin kita menjadi "force", merasa ada yang menekan atau kerap kita pahami sebagai stressor. Karena itu, secara kalkulasi, orang yang menekuni sesuatu itu jauh dari stressor ketimbang orang yang menjalani rutinitas.

Kedua, target yang dinamis.
Orang yang menekuni sesuatu itu punya target yang dinamis. Target yang dinamis itu artinya adalah target yang selalu ditingkatkan atau diperbaiki (be more, learn more, and do more). Orang yang menekuni sesuatu punya dorongan untuk naik ke level kompetensi yang lebih tinggi atas kesadaran dirinya. Ini berbeda dengan orang yang hanya menjalani rutinitas. Target yang harus ia kejar adalah target yang diciptakan dari luar dirinya.
Secara motivasi, orang yang menekuni pekerjaan itu punya motivasi yang lebih tinggi ketimbang orang yang hanya menjalani rutinitas. Karena itu, kalau melihat konsep pengembangan kompetensi, akan kita dapati penjelasan bahwa semakin kuat motivasi seseorang disumberkan pada inisitaif, kesadaran, atau motif intrinsik, berarti motivasi itu semakin tinggi. Sebaliknya, semakin kuat motivasi seseorang itu didasarkan pada tekanan eksternal, berarti semakin rendah.

Ketiga, solusi atas problem yang muncul.
Orang yang menekuni pekerjaan itu mendefinisikan dirinya sebagai sumber solusi yang pertama dan yang utama atas semua problem yang muncul (problem solver). Dirinya memang membutuhkan orang lain sebagai bantuan, namun tidak mengandalkan orang lain. Kata kuncinya di sini adalah membutuhkan dan mengandalkan. Secara mental, membutuhkan berarti kita yang sadar sebagai penanggung jawab utama. Kita mengangkat diri sendiri sebagai "the cause". Mengandalkan itu kita mengangkat orang lain sebagai "dewa" yang menentukan hidup kita. Ketika orang sudah mulai mengandalkan, maka saat itu juga tombol aktivasi kapasitas di dalam dirinya langsung "off". Biarpun kita sebetulnya mampu, namun kalau sudah kena mentalitas mengandalkan, prakteknya pasti kita tidak akan mampu.

Ada pelajaran sedikit dari kisah hidup Mark Victor Hansen, penulis buku berseri The Chicken Soup for The Soul yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia, termasuk Indonesia. Bagaimana kisah Mark yang terkait dengan pembahasan kita ini? Sebelum akhirnya memutuskan untuk menulis buku itu, Mark memiliki sejarah hidup yang unik. Memulai usaha di bidang konstruksi milik keluarganya pada usia 20 tahun. Ketika usianya 26 tahun, usaha itu bangkrut total sampai membuat hidup Mark berantakan.
Setelah lama menjalani hidup yang menurutnya tidak jelas, perjumpaan dengan seorang kawan lama terjadi, namanya Jack Canfield, yang sekarang ini sering menjadi co-writer bersamanya. Dari Jack inilah Mark punya kesempatan untuk mendengarkan kaset berisi pidato tokoh kenamaan, namanya Cavertt Robert. Apa yang menarik dari pidato itu? Pidato yang berjudul "Are you the cause or are you the effect" (apakah anda sebagai penyebab atau sebagai akibat?) benar-benar membuat dirinya sadar bahwa selama ini dirinya merasa bukan sebagai penyebab, tetapi menjadi akibat (the effect). Saking tertariknya dengan isi pidato itu, Mark memutarnya sebanyak 287 kali.
Dalam sebuah wawancara tahun 1994 yang dikutip oleh majalah Entreprenur, Mark buka bicara bahwa salah satu alasan dominan mengapa 90 % ummat manusia gagal merealisasikan gagasannya adalah karena mereka menyadari sebagai akibat (the effect), bukan sebagai penyebab bagi dirinya. Washington Irvin mengatakan, 90 % penyebab kegagalan kita itu adalah permakluman diri (self excusing), yang sama pengertiannya dengan menjadi sebagai "akibat".
Karena Mark sadar bahwa di dunia ini masih banyak orang yang tidak merasa dirinya sebagai penyebab, maka bersama Jack Canfield, Mark menulis buku berseri itu. Inipun tidak langsung membuat Mark berubah nasibnya. Konon, sebelum buku-buku tersebut dinobatkan menjadi daftar unggulan, best seller, penolakan dari 33 penerbit sempat dialami. Bahkan dalam expo buku-buku, lebih dari 134 pengunjung mengatakan NO!. Hingga ada penerbit kecil yang mau mencetak bukunya lalu dari sinilah ia memulai
Saya kira masih banyak contoh di sekeliling kita yang bisa diambil pelajarannya. Memang kita harus fair bahwa mau kita berpikir sebagai "penyebab" atau sebagai "akibat", nasib kita tidak akan langsung berubah. Tidak ada perubahan nasib yang diciptakan dari pemikiran. Cuma, untuk mengubah nasib dibutuhkan isi dan model pemikiran yang berubah. Perubahan pemikiran akan mengubah sikap, sikap akan mengubah perlakuan atau prilaku, prilaku akan mengubah hasil.