Minggu, 02 Maret 2008

Rutinitas atau Ketekunan??

Rutinitas identik dengan kebosanan, kemandekan, anti kreativitas, dan lain-lain. Padahal, kalau dilihat secara fisiknya, tidak ada perbedaan antara orang yang menjalani rutinitas dan orang yang menekuni sesuatu.

Rutinitas adalah, kita melakukan sesuatu yang sama dengan cara yang sama dan terus berulang di waktu yang sama. Menekuni itu artinya kita melakukan sesuatu berkali-kali dan dalam periode yang lama. Karena itu, secara lahirnya, ada orang yang pergi ke tempat kerja hanya sekedar untuk menjalani rutunitas, tetapi ada juga yang mungkin untuk menekuni keahlian tertentu.

Letak perbedaannya ada pada dinamika batin seseorang. Dinamika batin seperti apa yang membedakan? Dinamika batin yang kerapkali menjadi pembeda itu antara lain:

Pertama, kesadaran dari dalam.
Orang yang menekuni sesuatu didorong oleh kesadaran yang bersumber dari dalam dirinya (intrinsic initiative and motive). Mereka menyadari bahwa itu adalah sesuatu yang harus dilakukan, bahwa apa yang sedang dilakukannya adalah penting bagi dirinya. Sedangkan orang yang sedang menjalani rutinitas itu umumnya didorong oleh "kesadaran dari luar" atau inisiatif dari faktor eksternal. Bentuk faktor eksternal itu banyak, misalnya saja: paksaan orang, tuntutan keadaan / pekerjaan, kewajiban organisasi, dan lain-lain.
Secara perasaan, sesuatu yang kita lakukan atas dasar kesadaran dari dalam itu akan membuat batin kita menjadi "flow" atau mengalir, berjalan sesuai proses. Sedangkan sesuatu yang kita lakukan atas dasar paksaan dari luar itu biasanya menyebabkan batin kita menjadi "force", merasa ada yang menekan atau kerap kita pahami sebagai stressor. Karena itu, secara kalkulasi, orang yang menekuni sesuatu itu jauh dari stressor ketimbang orang yang menjalani rutinitas.

Kedua, target yang dinamis.
Orang yang menekuni sesuatu itu punya target yang dinamis. Target yang dinamis itu artinya adalah target yang selalu ditingkatkan atau diperbaiki (be more, learn more, and do more). Orang yang menekuni sesuatu punya dorongan untuk naik ke level kompetensi yang lebih tinggi atas kesadaran dirinya. Ini berbeda dengan orang yang hanya menjalani rutinitas. Target yang harus ia kejar adalah target yang diciptakan dari luar dirinya.
Secara motivasi, orang yang menekuni pekerjaan itu punya motivasi yang lebih tinggi ketimbang orang yang hanya menjalani rutinitas. Karena itu, kalau melihat konsep pengembangan kompetensi, akan kita dapati penjelasan bahwa semakin kuat motivasi seseorang disumberkan pada inisitaif, kesadaran, atau motif intrinsik, berarti motivasi itu semakin tinggi. Sebaliknya, semakin kuat motivasi seseorang itu didasarkan pada tekanan eksternal, berarti semakin rendah.

Ketiga, solusi atas problem yang muncul.
Orang yang menekuni pekerjaan itu mendefinisikan dirinya sebagai sumber solusi yang pertama dan yang utama atas semua problem yang muncul (problem solver). Dirinya memang membutuhkan orang lain sebagai bantuan, namun tidak mengandalkan orang lain. Kata kuncinya di sini adalah membutuhkan dan mengandalkan. Secara mental, membutuhkan berarti kita yang sadar sebagai penanggung jawab utama. Kita mengangkat diri sendiri sebagai "the cause". Mengandalkan itu kita mengangkat orang lain sebagai "dewa" yang menentukan hidup kita. Ketika orang sudah mulai mengandalkan, maka saat itu juga tombol aktivasi kapasitas di dalam dirinya langsung "off". Biarpun kita sebetulnya mampu, namun kalau sudah kena mentalitas mengandalkan, prakteknya pasti kita tidak akan mampu.

Ada pelajaran sedikit dari kisah hidup Mark Victor Hansen, penulis buku berseri The Chicken Soup for The Soul yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia, termasuk Indonesia. Bagaimana kisah Mark yang terkait dengan pembahasan kita ini? Sebelum akhirnya memutuskan untuk menulis buku itu, Mark memiliki sejarah hidup yang unik. Memulai usaha di bidang konstruksi milik keluarganya pada usia 20 tahun. Ketika usianya 26 tahun, usaha itu bangkrut total sampai membuat hidup Mark berantakan.
Setelah lama menjalani hidup yang menurutnya tidak jelas, perjumpaan dengan seorang kawan lama terjadi, namanya Jack Canfield, yang sekarang ini sering menjadi co-writer bersamanya. Dari Jack inilah Mark punya kesempatan untuk mendengarkan kaset berisi pidato tokoh kenamaan, namanya Cavertt Robert. Apa yang menarik dari pidato itu? Pidato yang berjudul "Are you the cause or are you the effect" (apakah anda sebagai penyebab atau sebagai akibat?) benar-benar membuat dirinya sadar bahwa selama ini dirinya merasa bukan sebagai penyebab, tetapi menjadi akibat (the effect). Saking tertariknya dengan isi pidato itu, Mark memutarnya sebanyak 287 kali.
Dalam sebuah wawancara tahun 1994 yang dikutip oleh majalah Entreprenur, Mark buka bicara bahwa salah satu alasan dominan mengapa 90 % ummat manusia gagal merealisasikan gagasannya adalah karena mereka menyadari sebagai akibat (the effect), bukan sebagai penyebab bagi dirinya. Washington Irvin mengatakan, 90 % penyebab kegagalan kita itu adalah permakluman diri (self excusing), yang sama pengertiannya dengan menjadi sebagai "akibat".
Karena Mark sadar bahwa di dunia ini masih banyak orang yang tidak merasa dirinya sebagai penyebab, maka bersama Jack Canfield, Mark menulis buku berseri itu. Inipun tidak langsung membuat Mark berubah nasibnya. Konon, sebelum buku-buku tersebut dinobatkan menjadi daftar unggulan, best seller, penolakan dari 33 penerbit sempat dialami. Bahkan dalam expo buku-buku, lebih dari 134 pengunjung mengatakan NO!. Hingga ada penerbit kecil yang mau mencetak bukunya lalu dari sinilah ia memulai
Saya kira masih banyak contoh di sekeliling kita yang bisa diambil pelajarannya. Memang kita harus fair bahwa mau kita berpikir sebagai "penyebab" atau sebagai "akibat", nasib kita tidak akan langsung berubah. Tidak ada perubahan nasib yang diciptakan dari pemikiran. Cuma, untuk mengubah nasib dibutuhkan isi dan model pemikiran yang berubah. Perubahan pemikiran akan mengubah sikap, sikap akan mengubah perlakuan atau prilaku, prilaku akan mengubah hasil.

Tidak ada komentar: