Pentingkah kita mendengarkan kritik-diri itu? Jawabnya bisa penting dan bisa tidak. Kenapa? Karena ini terkait dengan pilihan (free choice) dan terkait dengan soal level kesadaran (awareness). Kita diberi kebebasan memilih untuk mendengarkan dan untuk tidak mendengarkan. Kita bebas memilih untuk sekedar mendengarkan lalu melupakan atau mendengarkan lalu menjawabnya dengan tindakan (action).
Di sejumlah literatur psikologi atau manajemen SDM, kritik-diri ini mayoritasnya terkait dengan kondisi kejiwaan yang sedang negatif (self-criticism). Ini misalnya dikaitkan dengan soal stress atau depresi. Gejala stress tingkat tinggi atau depresi adalah munculnya self-criticism, pessimism, atau self-esteem yang rendah. Mereka melontarkan berbagai kritik terhadap dirinya. Kemungkinan besar kritik itu tidak terucapkan secara verbal. Kritik itu umumnya hanya ada di dalam pemahaman batin.
Kalau di dalam istilah pengembangan SDM industri, self-criticism ini sering dikaitkan juga dengan munculnya burn-out, sebuah kondisi di mana seseorang kehilangan sumber gairah untuk maju atau berprestasi. Salah satu tandanya adalah self-criticism ini. Kita mengeluarkan kritik terhadap diri sendiri. Sering dikaitkan pula dengan persoalan career depression. Orang yang mengalami depresi dalam karirnya itu antara lain ciri-cirinya adalah: have higher than average levels of self-criticism, tidak bahagia dengan profesi / pekerjaannya, tidak memiliki tujuan yang jelas.
Terlepas itu negatif atau positif, yang menjadi persoalan inti sebenarnya bukan itu. Lalu apanya? Kritik yang muncul dari dalam batin kita, tentang diri kita, pada saat kita sendirian atau pada saat berbicara dengan diri sendiri, itu semua seringkali tidak bisa dihindari. Karena itu, yang terpenting bukan mempersoalkan self-criticism-nya, melainkan akan kita gunakan untuk "apanya". Ini yang terpenting.
Artinya, kalau berbicara praktek hidup, self-criticim ini muncul dalam berbagai versi dan bentuk serta dialami oleh siapa saja. Alasannya, mungkin karena ada fakta-fakta konkrit yang mendukungnya (factual) atau hanya soal persepsi atau interprestasi yang diciptakannya (perceptual). Terlepas itu karena alasan perceptual atau factual, self-criticism ini akan mempengaruhi keputusan, tindakan, atau kebiasaan seseorang.
Soal pengaruh ini sudah banyak dijelaskan oleh berbagai teori motivasi, teori peluang, teori kreativitas, dan lain-lain. Orang menjadi termotivasi itu bisa karena memang ada stimulan yang mendorongnya atau bisa karena interprestasi dia yang memotivasi dirinya. Begitu juga orang menjadi kreatif. Ada yang karena "dipaksa" keadaan, tetapi ada yang karena persepsi dan interpretasinya.
sumber : www.e-psikologi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar